Terror Anjing Nyai’Nining
Terror Anjing Nyai’Nining
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit
edisi agustus 2015)
Kampung
ini sunyi, jalannan sepi seperti menjual diri pada pejalan kaki, tetapi tidak
ada yang sudi membeli atau menapakkan kaki di pagi hari. Sebab matahari masih
merangkak di rerumputan, bergelut dengan kabut. Sementara udara pagi terus
mencumbu penduduk kampung di kasurnya, suara dengkur terdengar samar di
beberapa kamar.
Matahari
tidak lagi merangkak, ia memanjat ke tempat yang lebih tinggi. Bertengger di
ranting pepohonnan. Namun pagi belum juga melepaskan taringnya, kampung masih
sunyi seperti tidak berpenghuni. Padahal langit sudah mandi cahaya, ramai
dengan burung-burung yang menjemur sayapnya.
Ternyata
suasana pagi di kampung ini lebih panjang dari pada siang. Sebab hawa dingin di
setiap pagi mampu melumpuhkan cahaya matahari—juga hangat ruap kopi. Tak heran,
bila para penduduk tetap merunduk bersembunyi di bawah selimut lembut, karena
udara tidak berhenti menyulut kabut.
Sekarang,
hangat matahari membersit kulit. Para petani mulai merangkul sawah dengan
cangkulnya—membuai helai-helai padi, para wanita mencuci bau baju di pinggir
kali, dan para lelaki terduduk di kursi—menyelam ke dasar kopi.
Di
bantaran kali, sepasang mata anjing menyala. Dan terlihat samar di balik semak
belukar, wajahnya penuh luka dan seram serupa memendam dendam yang dalam.
“goug…goug…!”
“eihhh! Siah anjing! Eta kutang
jeung cangcut rek dibawa kamana1?” umpat seorang ibu berlari mengekori anjing yang mencuri
kutang dan celana dalamnya di pinggir kali.
Anjing
itu sangat gesit berlari. Sedangkan si ibu tergepoh-gepoh heboh mengejarnya.
Tetapi lari anjing itu serupa kabut, menghilang tanpa jejak di depan pintu
hutan larangan. Kini, si ibu tertegun sejenak. Tiba-tiba bulu kuduknya
berdiri, dan kembali pulang berlari
“tulung!
Aya anjing jajadén!2”. teriaknya sambil berlari ketakutan menjauhi hutan
larangan.
Masyarakat meyakini hutan larangan itu adalah tempat para lelembut, pohon-pohon
menjulang besar dan kekar banyak tumbuh disana, sebab sesajen selalu ada di
depan mereka. Tidak ada yang berani memasukinya, kecuali jika diantar sesepuh
kampung itu.
Menurut
cerita yang tumbuh di mulut penduduk kampung, pada zaman dulu hutan itu
dijadikan sebagai tempat pengasingan orang-orang yang dianggap sebagai sampah
masyarakat, serta orang-orang yang mengidap penyakit menular dan bahaya. Di
sini juga tempat orang-orang frustasi menjemput ajalnya sendiri.
Ada
yang menjatuhkan tubuhnya dari puncak pohon tinggi, ada yang merobek lambungnya
dengan runcing ujung bambu , ada yang membenturkan kepala dengan batu—sampai
pecah dan belepotan darah, dan ada juga yang mencongkel matanya dengan
reranting pohon berduri.
Bagi
orang-orang frustasi biasanya mereka membawa tali dan menggantung dirinya
sendiri di dahan-dahan pepohonnan.
Hutan
ini selalu mengumandangkan gemerincing kematian. Mulut daun tidak berhenti
menghirup aroma darah, bercucuran serupa getah. Tulang belulang mereka
berserakan dimana-mana, dagingnya sudah lama hilang digerogoti cacing tanah.
Arwah
mereka penasaran dan selalu bergentayangan. Oleh karena itu setiap malam jum’at
sesepuh selalu memberikan sesajen kepada mereka, supaya tidak menggangu para
penduduk.
Sekarang
hutan itu sangat ditakuti masyarakat, sampai tidak ada yang berani untuk
mendekat. Kecuali orang yang tidak tahu masa lalu hutan itu.
*
Pada
suatu saat ada perempuan kota memasuki hutan untuk membawa anjing
peliharaannya. Sesaat setelah itu terdengar jeritan, rintihan, kemudian suara
orang meminta tolong dan gonggongan anjing, dengan selang waktu yang hampir bersamaan.
Tetapi orang yang mendengarnya malah lari ketakutan. Orang-orang yakin
perempuan itu sudah diculik atau dibawa penunggu hutan larangan. Sebab
perempuan itu tidak pernah kembali.
Peristiwa
ini terjadi sekitar 2 minggu lalu. Para keluarga korban, dan polisi yang
diantar sesepuh sudah menyusuri hutan untuk mencari mayatnya, tetapi tidak
ditemukan. Bahkan sesepuh pun sudah melakukan ritual: menyalakan dupa dan
menghidangkan ayam camani, kopi hitam, cerutu, dan sesajen lainnya.
Barangkali nining bisa dibawa pulang kembali, apabila memang dibawa dedemit3.
Namun semua usaha sia-sia, nining tetap tidak ditemukan.
Nining
adalah seorang mahasiswi yang sedang berlibur di rumah kakeknya. Wajahnya
cantik dengan tubuh seksi yang selalu membuat mata pemuda terbelalak ke luar
setiap kali melihatnya. Tak jarang banyak pemuda menggodanya tiap ia berjalan
sendirian. Hampir semua pemuda kampung menyimpan hati padanya. Namun sayang
kematiannya penuh misteri.
Ia
biasa disebut nyai4’ nining oleh kakeknya yang
berdarah sunda, yaitu Ki Dahlan. Ia begitu sayang dan hati-hati sekali menjaga
nining, sebab nining adalah cucu pertamanya. Kejadian yang menimpa cucunya
membuat ia sangat terpukul.
Nining
sangat mencintai hewan peliharaan. Setiap kali ia berjalan, anjing
peliharaannya selalu setia menemani dan menjaganya. Tetapi sekarang, entah ke
mana perginya anjing itu.
*
Malam
di kampung ini sangatlah indah. Tetapi orang-orang jarang menikmatinya, saat
ratusan kunang-kunang berpendaran di antara padi yang menguning—juga suara
katak dan jangkrik yang berdialog, di bawah langit yang menumpahkan cahaya.
Tetapi
masyarakat kampung tidak menyukai indahnya cahaya kunang-kunang malam. Mereka
mempercayai bahwa kunang-kunang adalah jelmaan kuku orang yang sudah meninggal.
Tak
heran bila anak-anak dan perawan di sana selalu memasuki rumahnya lebih awal,
sebelum malam bertamu memberikan kegelapan. Sebab bagi mereka, setiap malam
adalah kegundahan dan ketakutan, bukan keindahan.
“tah
mad! Urang meunang5!”
Dengan
asyiknya 3 pemuda di pos ronda, memainkan malam di tumpukan kartu reminya.
Malam semakin gelap serupa ampas kopi yang mengendap di dasar gelas. Tetapi
mereka sangat setia menikmati malam tanpa batas.
“goug!
goug! goug!”
Sepasang
mata anjing menerobos kegelapan. Dari jauh ia memandang dengan tajam para
pemuda di pos ronda.
“lumpat
mat! Aya anjing gélo! Lumpat6!”
“ah
anjing jajadén! Modar siah7!”
Mamat
kurang gesit memukulkan kayunya, cakar anjing lebih dulu mengacak-acak
kulitnya. Ia terus meronta-ronta dan meminta tolong, tak ada satu orang pun
datang ke sana. Wawan dan Ipang sudah berlari tunggang langgang dari tadi.
Anjing
itu tak memberi ampun, serangannya serupa orang yang sedang menguras dendam.
Cakar dan gigitan bergantian menghunjam tubuh mamat yang terkulai lemas.
Akhirnya ia kehilangan nafas, bercak darah melumuri sekujur tubuhnya.
*
“aya mayit! Aya mayit!8”. Teriak seorang kakek terperanjat
melihat mayat mamat yang tergeletak berlumuran darah di pos ronda. Disusul
bunyi kentongan memecah pagi yang baru saja menghidangkan nyala matahari.
Sontak. Penduduk kampung berkumpul menyaksikannya. Pagi yang biasanya sunyi
menjadi ramai karena penemuan sebuah mayat. Orang-orang saling berbisikkan,
seperti dengung lebah yang terganggu kenyamanannya.
Tanpa banyak bicara, ketua RT dan sesepuh kampung beserta warga lain mengurus
jenazahnya. Sebab baunya sudah menelusup ke seluruh penjuru kampung. Kemudian
mereka pergi ke rumah Iwan dan Ipang yang biasanya menghabiskan malam dengan
Mamat, untuk meminta penjelasan.
Mereka tercengang mendengar penjelasan Iwan dan Ipang, dan kembali pulang ke
rumahnya dengan membawa wajah ketakutan melihat kematian mamat yang
mengenaskan.
Setiap
hari orang-orang mengurung diri di dalam srumahnya sendiri. Bahkan, Iwan dan
Ipang tidak pernah memunculkan mukanya kembali setelah berlari dan meninggalkan
mamat sendiri. Bahkan, mereka tidak ada saat upacara pemakaman sahabatnya.
*
Setelah kejadian itu banyak wanita yang kehilangan pakaian dalamnya, dan
beberapa nyawa pemuda melayang menyusul kepergian mamat.
Warga mulai resah, dengan terror anjing itu. Semakin betah mengurung diri di
dalam rumah. Ketakutan dan gelisah. Sesepuh kampung dan ketua RT tidak tinggal
diam. Mereka mengumpulkan warga dan menyusun rencana untuk membunuh anjing itu.
Sebelum subuh rubuh, mereka menyimpan beberapa pakaian dalam wanita di beranda
rumah salah seorang warga. Lalu bersembunyi dan mengintip kedatangan anjing itu.
Beberapa menit kemudian, anjing yang dinantikan datang tanpa gongongan. Tanpa
banyak basa basi, mereka semua keluar dan mengejar dengan ramai-ramai.
Golok, kelewang, parang, dan kujang sudah siap di tangan. Sebagian orang
berhamburan keluar dari rumahnya dan berbaur dengan gerombolan. Gemuruh derap
langkah meramaikan pemburuan.
“weuy! Anjing jajadén rék lumpat kamana siah9!”
“anjing gélo! Rék kamana ogé ku aing diuber10!”
“anjing jajadén! Rasakeun heula seukeutna bedog aing11!”
Mereka berteriak mengobarkan semangat. Anjng itu berlari dan masuk hutan
larangan. Tak perduli, mereka terus mengejarnya. Walaupun harus menerobos hutan
yang lebat dengan kematian.
Tiba-tiba anjing itu berhenti dan terduduk manis di atas gundukan tanah yang
ditutupi rerantingan kering dan puluhan pakaian dalam wanita. Mereka semua
tertegun melihat tingkah laku anjing itu.
“ah lila! Podaran anjing jajadénna!12”. Ucap Ipang dengan
penuh semangat
“geuwat! Bisi kabur deui!13”. Susul Iwan sambil mengacungkan
golok yang dibawanya.
Semua
warga membuat lingkaran dan mendekat, mengurung anjing itu. Tetapi bau busuk
dari balik gundukan tanah terlebih dahulu menyerang hidung mereka. Mereka pun
menjauh sambil keherannan dan bertanya-tanya.
“Nyingkah! Nyingkah! Engké heula14!”. Tiba-tiba Ki Dahlan
berlari sambil berteriak dari belakang, membuka kerumunnan. Memecahkan suasana.
“aduh,
ieu mah lain anjing jajadén! Ieu mah anjingna nyi’nining nu geus lila teu balik
sanggeus
manéhna tilar dunya15”. ucapnya lirih sambil membelai dan memangku anjing itu.
Orang-orang
tidak percaya dengan penjelasan Ki Dahlan. Yang mereka tahu anjing nyi’nining
adalah anjing jinak dan lucu. Tetapi Ki Dahlan sangatlah yakin bahwa anjing itu
milik nyi’Nining, sebab anjing nyi’Nining memiliki tanda yang tidak mungkin
bisa disamakan dengan anjing lain.
Namun
mereka tetap ingin membunuh anjing itu, karena sudah meresahkan warga kampung.
Ki Dahlan tidak mengizinkannya, anjing itu satu-satunya kenangan yang
ditinggalkan Nining.
Semakin
lama berbicara di sana, semakin tajam bau bangkai menikam hidung mereka. Dan
bau bangkai itu membuahkan rasa penasaran. Mereka pun menunda pembunuhan itu.
Tetapi Iwan dan Ipang menghalanginya, dan terus membujuk warga untuk membunuh
anjing yang telah mengambil nyawa sahabatnya.
Namun
mereka lebih memilih untuk menumpaskan rasa penasarannya. Sebab anjing itu kini
sudah tertangkap. Dan bila ingin membunuhnya, dengan satu ayunnan golok saja
sudah cukup untuk merebut nyawanya.
Entah
kenapa, kegelisahan dan ketakutan berlumut di wajah Iwan dan Ipang saat melihat
beberapa orang mengambil cangkul dan menggali gundukan tanah tersebut.
“ih!
Mayit! Mayit16!”
Tiba-tiba
mereka meloncat dari lubang penggalian, semua warga menghampirinya dan langsung
memalingkan muka sambil mengucapkan istigfar.
Nampak
mayat seorang perempuan utuh dan telanjang di dalam lubang. Kulitnya putih
mulus dengan postur badan ideal. Dan rambutnya panjang tegerai menutupi buah
dadanya.
Ki
Dahlan berlari dan meloncat ke dalam lubang. Ia yakin mayat itu adalah mayat
cucunya yang sudah lama tidak ditemukan
“gusti!
Kunaon si nyai bet kieu maotna? Geus lila kuring néangan kamana-mana17”. Ucapnya sambil menjatuhkan airmata
di rona wajah nining yang berbalut tanah.
“tah
warga! geus kabuktian, anjing nyi’nining maokan cangcut jeung kutang lantaran
manéhna nyaho yén majikanna buligir di jero taneuh18”. Ujarnya dengan nada keras dan tegas,
airmatanya tidak berhenti berderai dan berjatuhan di mana-mana. Warga pun
mengangguk dengan agak kebingungan.
“ki!
naha atuh anjing jajadén éta bet nyerang jajaka kampung ieu?19”. Teriak seseorang dari belakang
kerumunnan.
“saha
éta nu nyebut anjing jajadén? Ceuk kuring ogé ieu mah lain anjing jajadén! Ieu
mah anjing nyi’nining nu satia ngajagaan incu kuring. Bisa waé, anjingna boga
dendam ka para jajaka di kampung ieu nu geus milampah kalakuan keji ka si
nyai20!”.
Jawabnya dengan marah sambil terisak-isak meratapi nasib cucunya yang malang.
Ki dahlan tidak habis pikir, sebenarnya siapa yang telah melakukan perbuatan
keji seperti ini pada cucunya. Geram dan dendam becampur di wajah sedihnya.
Ketika
semua orang terbawa dan hanyut ke dalam suasana duka. Ketakutan dan gelisah
seperti orang bersalah jelas telihat dan meluap dari wajah Iwan dan Ipang.
Semua
orang merasa aneh dengan perilaku mereka. Gerak-geriknya seperti orang yang
sedang menyembunyikan sesuatu.
“Goug!
Goug! Goug!...”
Anjing
nyi’nining tiba-tiba menyalak dan menyerang. Untung saja mereka bisa
menghindar. Tetapi anjing itu malah mengejarnya.
“ampuuuun!
Hampura nyai! Hampura!21”
“
duh nyai kuring kaduhung! Hampura nyai!22”
Teriak
mereka sambil berlari seolah-olah melihat nyi’nining. Rasa bersalah seperti
menghantui mereka.
“tuh
jalma nu rumasa boga salah! Udaaaaag!23”. Melihat kelakuan aneh mereka
tiba-tiba Ki24 Dahlan berteriak.
Golok,
kelewang, parang, dan kujang sudah siap di tangan. Sebagian orang berteriak
dans saling bersahutan. Gemuruh derap langkah meramaikan pemburuan.
*
* *
MR.Maskur 2014
Comments