KISAH NABI IBRAHIM AS
Nabi
Ibrahim as. adalah nabi keenam yang wajib diimani oleh umat muslim.
Lewat kisah ini, kita akan melihat bagaimana Nabi Ibrahim as.
berjuang menegakkan ajaran Allah Swt. Nabi Ibrahim as. lahir dan dibesarkan di
negeri Ur alias Caldania, yang kini dikenal dengan nama Mughir,
terletak antara Sungai Tigris dan Eufrat seputar Irak. Negeri kelahiran Nabi
Ibrahim kala itu di bawah kekuasaan dan atau kebudayaan Babilonia. Lantas Nabi
Ibrahim dan keluarga pindah ke Kota Haran, jauh di sebelah barat Mesopotamia.
Ibrahim adalah anak dari Azar (Taroh) bin Tanur bin Siruj bin Sam bin Nuh
A.S itu. Beliau hidup sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi, bersamaan dengan
saat berkuasanya Raja Namrudz bin Kan'an bin Kusy.
Umat Nabi Ibrahim as.
Penduduk atau kaum Babilon kala
itu memiliki banyak tuhan yang diwujudkan dalam berbagai berhala, patung sembahan.
Setiap kota konon memiliki satu tuhan khusus yang merawatnya, dan setiap
kampung juga ada tuhannya tentu dengan ukuran dan atau kekuasaan yang lebih
kecil dibanding tuhan-tuhan kota apalagi tuhan di tingkat ibu kota negara.
Semua tuhan kecil di berbagai kampung diyakini merefleksikan sifat spesifik
dari tuhan yang paling besar di negeri Babilon, yang dinamakan dengan Marduk.
Koleksi tuhan di ibu kota negara dan kota-kota yang lebih kecil darinya biasa
dikumpulkan dalam altar penyembahan yang disebut Haekal. Bahkan, sang Raja
alias Namrud sendiri juga memproklamirkan diri sebagai sekutu segala tuhan
tadi.
Selain
kepada patung berhala, kaum Babilon juga menghamba pada bintang-gemintang,
planet-planet termasuk mentari dan rembulan. Dewa Bulan disebut dengan Nanar,
Dewa Mentari dinamakan Syamas. Sedangkan di antara planet yang paling dikenal
disebut Planet Bunga atau Ester serta Planet Mars. Bintang-bintang bukan saja
dijadikan alat penunjuk arah, tapi dijadikan media peramalan nasib, di mana
gerakan-gerakan bintang dijadikan salah satu kesenangan kaum Babilon. Kepada
mereka inilah Nabi Ibrahim diutus Allah untuk meluruskan keimanan dan pemikiran
yang terbelit kesesatan. Tentu saja obyek penyadaran utama dan pertama tertuju
pada bapak Nabi Ibrahim sendiri, sebab dia adalah pembuat berhala.
Nabi Ibrahim as. Menasehati Bapaknya
Kepada ayahanda, Nabi Ibrahim
mengingatkannya, "Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tak
mampu mendengar, tak bisa melihat, tak kuasa menolong dirinya apalagi membantu
engkau sedikit pun." Kepada si bapak, Nabi Ibrahim juga bicara,
"Wahai bapakku, janganlah engkau menyembah setan dengan segala
perangkapnya, karena setan nyata-nyata durhaka pada Tuhan." Atas saran dan
wejangan (petuah, nasihat) dari anaknya, sang bapak justru marah tak terkira.
Kepada darah dagingnya, si bapak malah menghardiknya, "Ibrahim, bencikah
kamu kepada tuhan-tuhanku? Jika kamu tak berhenti bicara, tak stop mencerca,
niscaya kamu akan aku rajam dengan batu-batu. Jika kamu ingin selamat dariku,
pergilah kamu dari hadapanku, dan jangan sekali-kali menemuiku.”
Menanggapi
sikap arogan dan pengusiran, Nabi Ibrahim tetap berkata sopan, "Wahai
bapakku. Semoga keselamatan tetap terlimpah atas kamu, dan aku akan senantiasa
memohonkan ampun untukmu kepada Tuhanku yang sangat baik terhadapku. Ketahuilah
bapakku, ini anakmu akan menjauhkan diri darimu, dan dari segala
perbuatanmu." Nabi Ibrahim yang telah berdakwah secara sopan, sama sekali
tak menghinakan, tak mendapat sambutan. Nabi Ibrahim yang berdakwah secara
rasional tidak emosional, justru disambut dengan pengusiran. Nabi Ibrahim
sesuai dengan janjinya memang tetap selalu berdoa untuk bapaknya. Namun,
setelah jelas bagainya bahwa sang ayah benar-benar menjadi musuh Allah Ta'ala,
tetap ngotot tak mau meninggalkan berhala, Nabi Ibrahim akhirnya rela berlepas
diri dari ayahnya.
Dakwah Nabi Nabi Ibrahim as. pada Kaumnya
Nabi Ibrahim yang risalahnya
ditolak ayahnya sendiri, ganti konsentrasi memberi wejangan kepada orang-orang
di sekitarnya. Nabi Ibrahim mencari akar permasalahan, kenapa mereka menjadikan
berhala sebagai sesembahan. Kepada mereka Nabi Ibrahim mengajukan pertanyaan,
"Kenapa kalian menyembah patung berhala, menghamba pada bintang-gemintang
di atas sana?" Mereka menjawab, "Kami telah mendapati bapak-bapak
kami, semua biasa menyembah itu semua." Mendapat jawaban tadi, Nabi
Ibrahim lantas menyangkali, "Sungguh, kalian dan Para leluhur kalian
berada dalam kesesatan." Mereka ganti menimpali," Wahai Ibrahim,
apakah kata-kata yang engkau ucapkan hanyalah sebuah gurauan, ataukah sebuah
kesungguhan?" Nabi Ibrahim kembali menjawab, kian memperlihatkan mimik
kesungguhan, "Ketahuilah oleh kalian, bahwa Tuhan yang layak dijadikan
sesembahan adalah Tuhan langit, bumi, dan semesta alam, yang berkuasa untuk membuat
sakit dan menyembuhkan, yang mampu menghidupkan dan mematikan."
Suatu
petang, ketika malam mulai kelam, Nabi Ibrahim mendekati kaumnya yang sedang
asyik menengadah ke angkasa. Kepada mereka Nabi Ibrahim lantas berkata,
"Bintang inilah Tuhanku." Tapi, ketika bintang lenyap tertutup awan,
Nabi Ibrahim menyangkalnya, "Saya tak suka kepada yang tenggelam."
Berikutnya, ketika Nabi Ibrahim melihat bulan mulai terbit, maka kepada kaumnya
ia kembali bicara, "Bulan itulah Tuhanku." Namun, ketika bulan kembali
terbenam, Nabi Ibrahim kembali berkata pada orang sekitarnya, "Tuhan tidak
mungkin tenggelam. Seandainya Tuhanku tak memberi petunjuk kepadaku, pasti aku
akan tertipu."
Selanjutnya,
pada esok hari, mentari mulai terbit kembali. Dengan segala bias-bias sinarnya
yang lebih besar dibanding rembulan apatah lagi bintang-gemintang, maka pada
kaumnya Nabi Ibrahim kembali berkata, "Inilah Tuhanku yang sebenarnya. Dia
lebih besar dibanding bintang dan rembulan." Tapi, lagi-lagi setelah
mentari terbenam di ufuk barat, Nabi Ibrahim kembali menegasi, "Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutu-kan,
mulai dari bintang, rembulan, sampai surya terang. Sungguh, aku menghadapkan
diriku kepada Tuhan pencipta bintang, rembulan, mentari, bumi dan langit alias
semua semesta alam."
Itulah
cara Nabi Ibrahim berdakwah dengan memakai cara-cara rasional, mengajak orang
berpikir rasional untuk menentukan Tuhan yang sebenarnya. Dengan cara rasional
itu Nabi Ibrahim berupaya mematahkan argumentasi irasional alias emosional dari
umatnya yang menganggap bintang, rembulan, dan surya serta segala planet di
tata surya sebagai sesembahan mereka. Ternyata cara-cara rasional itu belum
mustajab untuk menyadarkan umatnya yang cenderung menganut ilmu "pokok'e"
(pokoknya) yang emosional. Karena cara pasemon, tamsil, atau sindiran tetap tak
mempan menyadarkan kaumnya,
Nabi Ibrahim as. Menghancurkan Berhala-berhala
Nabi Ibrahim nekad mengambil cara
radikal penuh resiko: menghancurkan berhala-berhala. Dengan cara itu, Nabi
Ibrahim hendak memberi bukti bahwa berhala yang dianggap tuhan ternyata tak
punya kemampuan, tak bisa apa-apa untuk membela dirinya apatah lagi melindungi
umat manusia. Dengan cara itu Nabi Ibrahim hendak membuat melek (terbuka mata)
umatnya agar melihat segala yang mereka anggap Tuhan ternyata tak memberi
manfaat apatah lagi mudharat kepada manusia.
Nabi
Ibrahim telah lama menunggu kesempatan untuk merealisasi hajatnya, dan akhirnya
peluang itu tiba. Malam Perayaan Nasional tiba, dan semua masyarakat tanpa
kecuali ikut meramaikan Hari Raya. Nabi Ibrahim ikut pula mendatanginya, namun
dengan tujuan untuk mencermati situasi dan kondisi, peluang dan penghalang
untuk merealisir maksudnya. Setelah memutar otak, Nabi Ibrahim menemukan ide
cemerlang. Ia mendongak ke atas, melihat bintang-gemintang, lantas menukas
lantang, "Waduh bintang itu telah terbit, berarti aku akan terserang
penyakit ta'un." Mendengar perkataan Nabi Ibrahim yang serius, masyarakat
yang percaya lahir batin terhadap ramalan bintang menanggapi serius. Oleh
karena itu, mereka dengan serius menjaga jarak, menjauhi Nabi Ibrahim, yang
katanya terkena penyakit ta'un alias sakit kulit yang menular serta menjijikkan
(semacam kusta).
Kesempatan
kesendirian itu akhirnya dimanfaatkan Nabi Ibrahim untuk menyelinap memasuki
Haekal, kompleks sesembahan. Di tempat itu berbagai berhala dibariskan
berjejeran, berhala besar di taruh di tengah-tengah. Di hadapan bermacam bentuk
dan ukuran berhala itu tersaji makanan dan minuman sebagai wujud sesajian, agar
dimakan oleh sang Tuhan. Dengan nada mengejek, Nabi Ibrahim berkata kepada
semua berhala, "Mengapa kalian tak memakannya?" Berhala membisu, tak
mampu menyahutnya, sehingga Nabi Ibrahim berkata, "Mengapa kalian tak
bicara?" Berikutnya Nabi Ibrahim mulai mengampak semua berhala, kecuali
berhala terbesar, yang kepadanya kapak lantas dikalungkan di lehernya. Esok
harinya, ketika diketahui seluruh patung sesembahan telah hancur berantakan,
raja menjadi sangat marah tak ketulungan (sangat marah sekali). Tak sulit
mencari pelakunya, yakni tiada lain Nabi Ibrahim orangnya. Sebab, tak seorang
pun selama ini berani mencela berhala baik patung maupun tata surya yang
dianggap tuhan mereka, kecuali hanya Nabi Ibrahim dan beberapa pengikutnya.
Nabi Ibrahim as. Vs Raja Namrud
Nabi Ibrahim dipanggil, dihadapkan pada pengadilan raja, yang kepadanya lantas Nabi Ibrahim ditanya, "Ibrahim. Apakah kamu yang telah menghancurkan tuhan-tuhanku?" Nabi Ibrahim yang telah lama menanti, akhirnya mendapat kesempatan untuk mengemukakan keyakinan dan kebenaran tentang Tuhan, "Bukankah kapaknya bergantung pada leher berhala yang paling besar? Oleh karena itu, tanyakan kepada berhalamu itu jika mereka bisa berbicara kepadamu. Mungkin saja ia cemburu dan marah karena kalian menyembah pula berhala-berhala kecil di kiri kanannya." Tanpa disadari dan terpikir oleh mereka, sebagian hadirin kala itu langsung bicara, "Betapa zalimnya kita, menyembah barang-barang yang tidak bisa bicara." Sebagian lain, kelompok yang tak memakai otaknya ada yang bicara, "Betapa zalimnya kita, menuduh Ibrahim sebagai pelakunya. Bukankah sangat mungkin berhala besar yang melakukannya?" Namun, sebagian ketiga keras hati dengan cara menghardik Nabi Ibrahim sambil membela diri tanpa malu hati, "Ibrahim, bukankah kamu mengetahui bahwa berhala ini tak bisa berbicara. Tapi kenapa kau meminta kepada kami untuk bertanya kepadanya?"
Demi
mendengar pertanyaan tadi Nabi Ibrahim langsung memberi "pukulan
mematikan" lewat sebuah ucapan menghujam, "Maka mengapakah engkau
menyembah kepada selain Allah, pada sesuatu yang tak dapat bicara, apalagi
memberi manfaat ataukah mudharat kepada engkau? Celakalah kalian beserta apa
yang kalian sembah sebagai Tuhan." Nabi Ibrahim juga berkata, "Kenapa
kalian menyembah patung yang kalian pahat sendiri. Padahal Allah-lah yang
menciptakan kalian dan segala apa yang kalian perbuat ini." Jawaban Nabi
Ibrahim seharusnya membuat mereka sadar diri, dipermalukan dengan cara
memperlihatkan bahwa tuhan mereka tak bisa berbuat apa-apa bahkan hanya untuk
bicara.
Dalam
situasi keterpojokan ini, Raja Namrud akhirnya mengambil peran, intervensi
dalam pengadilan. "Ibrahim," demikian katanya. Nabi Ibrahim
memandangnya, sambil menyungging senyum di bibirnya. "Adakah kekuasaan
yang dimiliki Tuhanmu terhadap dirimu?" tanya sang Namrud. Nabi Ibrahim
menjawab, "Tuhanku adalah Dia yang menghidupkan dan mematikan."Namrud
menimpali, "Aku juga bisa menghidupkan dan mematikan." Lalu Namrud
berkehendak membuktikan apa yang baru saja diucapkan. Dia memanggil dua
pelayan, yang satu dibunuh dan satunya lagi dibiarkan hidup. Dengan cara
ini, ia bermaksud menyatakan bisa menghidupkan namun juga bisa mematikan.
Sebenarnya,
terkait dengan topik tadi Nabi Ibrahim bisa melanjutkan perdebatan, karena arti
menghidupkan adalah mengadakan makhluk dari yang tak ada menjadi ada atau
sebaliknya dari yang ada menjadi dada. Namun, Nabi Ibrahim mencari topik yang
lebih simpel untuk menohok sang raja dengan berkata, "Sesungguhnya Allah,
Tuhanku, menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat."
Mendengar ucapan Nabi Ibrahim, Namrud melongo, bengong, lalu membisu malu.
Namun, kebodohan dan keingkaran mereka telah mendarah daging dalam jiwa,
berkerak dan berkarat dalam kalbu yang telah membatu. Alhasil, setelah kalah
adu debat dan adu argumentasi, sang raja malah menghukum Nabi Ibrahim dengan
cara dibakar hidup-hidup. Namun, Allah menyelamatkan nyawa Nabi Ibrahim dengan
cara menjadikan api terasa dingin. Itulah Nabi Ibrahim yang mendapat sebutan Khalilullah
alias kesayangan Allah.
Setelah peristiwa pembakaran itu, Nabi Ibrahim pindah ke Mesir dan melanjutkan dakwahnya. Di kemudian hari, Beliau akhirnya kembali menetap di Palestina hingga wafatnya pada usia 175 tahun. Keturunan Nabi Ibrahim pun banyak yang menjadi Nabi dan Rasul. Karena itu, beliau mendapat julukan "Abul Anbiya" yang artinya "bapak para Nabi."
Setelah peristiwa pembakaran itu, Nabi Ibrahim pindah ke Mesir dan melanjutkan dakwahnya. Di kemudian hari, Beliau akhirnya kembali menetap di Palestina hingga wafatnya pada usia 175 tahun. Keturunan Nabi Ibrahim pun banyak yang menjadi Nabi dan Rasul. Karena itu, beliau mendapat julukan "Abul Anbiya" yang artinya "bapak para Nabi."
Referensi:
- Mashad, Dhurorudin. 2002. Mutiara Hikmah: Kisah 25 Rasul. Bandung: Erlangga.
Comments